Jamu, Obat Herbal dan Fitofarmaka sebagai Obat yang Diakui

Obat adalah bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi  dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia.

Proses perjalanan untuk menemukan sebuah obat tidaklah mudah. Proses pembuatan obat haru melalui banyak penelitian dan pengujian yang harus dilakukan guna mengetahui mekanisme kerja obat, menguji manfaat dan efektivitasnya serta menjamin bahwa obat tersebut aman untuk dikonsumsi.

Dokter dari Perhimpunan Dokter Herbal Medik Indonesia (PDHMI), dr. Riani Hapsari, M.Si (Herb.) menjelaskan bahwa proses yang sama tidak hanya berlaku untuk obat-obat yang mengandung bahan aktif sintetis tetapi juga untuk obat herbal.

Di Indonesia sendiri, jenis obat terkhusus obat herbal terbagi atas tiga jenis yaitu, Jamu, Obat Herbal Terstandar (OHT) dan Fitofarmaka.

Jamu, Obat Herbal dan Fitofarmaka

Jamu adalah obat bahan alam yang sediaannya masih berupa bentuk aslinya (daun, rimpang, batang, dan lainnya). Khasiat dan keamanan jamu baru berdasarkan pengalaman turun temurun (minimal 3 generasi).

Setelah lolos uji Pra Klinik, jamu naik kelas menjadi Obat Herbal Terstandar (OHT). Tingkat paling tinggi disebut sebagai Fitofarmaka di mana kemanan dan khasiat obat bahan alam sudah lolos uji Pra Klinik dan Uji Klinik serta bahan baku dan produk jadinya sudah terstandarisasi.

Perjalanan Bahan Alami menjadi Obat Herbal

1. Pemilihan Bahan

Tahap awal yang dilakukan untuk membuat bahan alam menjadi obat herbal adalah proses penyeleksian. Tahap seleksi dilakukan dengan mempelajari kandidat bahan aktif dari segi kimia, biologi sampai ke tingkat molekuler yang berpotensi untuk dikembangkan.

2. Uji Pra Klinik

Uji Pra Klinik dilakukan secara in vitro (menggunakan sel hidup, bakteri atau kultur jaringan) dan in vivo (menggunakan hewan coba).

Tujuan uji Pra Klinik adalah untuk mengetahui karakteristik farmakologi (seperti mekanisme kerja, interaksi bahan uji) serta menguji keamanan obat melalui uji toksisitas dan uji teratogenik.

3. Standarisasi dan Penentuan Bentuk

Bahan obat yang sudah lolos Uji Pra Klinik kemudian dilakukan standarisasi dan penentuan bentuk sediaan (Tahap Standarisasi).

Di tahap ini termasuk penentuan dosis, penentuan bentuk sediaan (seperti bentuk tablet, sirup, dll.) dan juga untuk mengetahui stabilitas obat (berkaitan dengan expired date).

Obat yang sudah lolos di tahap ini dapat didaftarkan untuk menjadi produk obat herbal kategori Obat Herbal Terstandar.

4. Uji Klinik pada Manusia untuk Fitofarmaka

Tingkat tertinggi suatu produk herbal adalah menjadi Fitofarmaka. Untuk dapat menjadi Fitofarmaka, obat herbal dapat dibuktikan khasiat dan keamanannya melalui Uji Klnik.

Uji Klinik dilakukan pada manusia dan harus memenuhi prinsip etika uji klinik. Waktu yang diperlukan untuk uji klinik pun tidaklah singkat karena harus melewati beberapa tahap uji lagi.

Bahkan setelah obat tersebut dipasarkan, penggunaan obat di masyarakat masih terus diamati guna mengetahui efektivitas maupun efek samping jangka panjang.

Banyak keuntungan yang bisa didapat jika Indonesia bisa memiliki Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka sendiri, salah satunya mengurangi ketergantungan bahan-bahan obat yang diimpor yang harganya semakin meningkat.

Posting Komentar

0 Komentar